"Cara Naga Menaklukkan Seisi Sungai" bagian satu: Seekor Naga Mengetahui Cara untuk Tetap Membuat Potensinya Tersembunyi
Bagian 1: Seekor Naga Mengetahui Cara untuk Tetap Membuat Potensinya Tersembunyi
“Seekor naga sejati tahu bahwa dirinya memiliki potensi besar, tetapi alih-alih menunjukkan itu pada semua pihak, dia justru menyembunyikannya.”
Pada awal atau akhir tahun 1950an, seorang imigran China baru saja tiba di negara bagian Australia setelah kehilangan seluruh keluarganya dalam peristiwa paling berdarah dalam sejarah peradaban manusia modern: Perang Dunia II.
Imigran itu tidak memiliki apa pun selain pakaian kumal yang melekat di tubuhnya dan beberapa Pound Australia (Dolar Australia baru dikenalkan pada tahun 1966).
Imigran ini sepenuhnya dalam kondisi menyedihkan dan tanpa harapan.
Namun, ketika dia melihat sebuah poster pencarian karyawan baru pada sebuah restoran kecil yang baru saja membuka cabangnya yang kesekian, dia tanpa ragu melamar pekerjaan di sana. Tentu saja, agar tidak mati kelaparan di jalanan yang gersang, atau mati membeku kedinginan di sudut gang.
Sebagai imigran, dia dikutuk dengan stigma skeptis dari penduduk lokal. Mencari pekerjaan akan 10 kali lebih berat bagi “Si Imigran” ini.
Betapa pun, sebagaimana penilaian orang-orang kebanyakan terhadap masyarakat Tionghoa, Si Imigran selalu tahu cara bernegeoisasi; kepada pemilik restoran kecil itu, dia menawarkan diri untuk bekerja tanpa dibayar sepeser pun.
“Saya tidak minta uang dari Anda; saya akan bekerja secara sukarela dan penuh komitmen. Saya hanya ingin Anda memberikan saya sebuah ruangan kecil untuk tidur dan makan tiga kali sehari,” ujarnya, “saya adalah seorang yang kalah perang; seluruh keluarga saya tewas dibunuh. Tidak apa jika saya menghabiskan sisa-sisa hari saya di restoran Anda, asalkan saya bisa tetap hidup.”
Pemilik kedai selalu mendapatkan iming-iming komitmen dari para pelamar kerja, tetapi baru kali ini dia berhadapan dengan pelamar yang bersedia bekerja tanpa dibayar dengan uang sepeser pun.
Pada titik ini, Si Imigran telah memberikannya “sebuah tawaran yang tidak dapat ditolak”.
Merasa ‘transaksi’ ini menguntungkan dirinya, pemilik kedai menerima Si Imigran—seseorang yang seharusnya mendapatkan stigma negatif itu—ketimbang pelamar-pelamar lokal lainnya.
Sampai di sini, Pembaca yang Budiman, jika Anda membaca buku “The 48 Laws of Power” karya Robert Greene, Anda pasti mengetahui bahwa Si Imigran telah menerapkan hukum ketigabelas: Saat Meminta Bantuan, Pancinglah Kepentingan Orang Lain, Jangan Pernah Pancing Rasa Kasihan atau Rasa Syukur Mereka.
Dalam dunia yang serba-kapitalis seperti ini, mayoritas orang telah mengabaikan rasa iba demi keuntungan maksimal pada bisnis atau kehidupan mereka.
Semakin Anda mengharapkan mereka menaruh rasa kasihan pada kondisi Anda, maka semakin jauh mereka memalingkan wajah dari Anda.
Si Imigran dengan cermat membuat dirinya seolah-olah mengatakan, “Jika Anda menolak saya, Anda telah menyianyiakan keuntungan besar yang saya tawarkan.”
Sore itu juga, Si Imigran mulai bekerja di restoran kecil itu dengan sangat giat. Saya ingin Anda memerhatikan kata “giat” barusan sekali lagi dengan sungguh-sungguh, karena sesungguh-sungguhnya, secara literal, dia memang benar-benar giat.
Si Imigran mampu menyelesaikan seluruh pekerjaan tanpa mengeluh. Dia bahkan juga berhasil membuat karyawan-karyawan lain menjadi malas untuk melakukan apa pun.
Kata mereka, “Susah-susah amat. Toh, nanti Si Imigran yang bereskan semua.”
Sifat giat dan ‘terlalu baik’ inilah yang membuat Si Imigran berhasil mendapatkan perhatian dan kepercayaan si pemilik restoran sepuluh kali lipat lebih besar daripada yang diterima rekan-rekan kerjanya.
Sang pemilik restoran mulai menyerahkan pekerjaan-pekerjaan penentu dan esensial kepada Si Imigran. Mulai dari administrasi, kulakan bahan pokok, meracik bumbu, dan lain-lain sebagainya.
Sang pemilik toko tidak curiga bahwa Si Imigran akan menyontek bisnisnya. Memangnya, apa yang bisa dilakukan Si Imigran yang satu ini selain melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar?
Dia berpikir bahwa Si Imigran hanya bisa melakukan pekerjaan yang sesuai dengan perintah. Dia tidak memberontak, protes, atau mengambil keputusan atas inisiatifnya sendiri. Hidupnya memang begitu-begitu aja. Tidak mungkin berkembang.
Sang pemilik toko sedikit naif untuk mengabaikan fakta bahwa seseorang yang terlalu baik hanya memiliki dua kemungkinan atas sifatnya itu: pertama, dia terlalu bodoh; kedua, dia terlalu cerdas. Si Imigran adalah kemungkinan kedua.
Tiga bulan dia bekerja, sang pemilik restoran kagum, memutuskan untuk memberikan setengah dari jumlah gaji yang seharusnya diterima oleh karyawan-karyawannya pada Si Imigran.
Enam bulan, sang pemilik restoran memberikan gaji penuh.
Satu tahun, tidak hanya menaikkan gaji Si Imigran sedikit di atas seluruh karyawannya, dia bahkan juga sering memberikannya bonus yang tak pernah sedikit jumlahnya.
Namun, hidup Si Imigran seolah tidak berubah sama sekali. Dia tetap tinggal di ruangan kecil yang sekaligus merangkap sebagai gudang di restoran itu. Dia pula hanya makan makanan yang disediakan sang pemilik restoran, padahal kalau dia menerima bonus, jumlahnya bisa saja ia gunakan untuk mencicipi makanan terlezat di restoran bintang lima.
Kemudian, kalau boleh kita persingkat cerita, setelah hampir tiga tahun terlewati, sebuah hari yang menentukan akhirnya tiba juga.
Si Imigran datang ke meja kerja sang pemilik restoran, lalu secara hormat tetapi tak terduga menyerahkan surat resign.
Sang pemilik restoran terkejut dan panik di waktu yang bersamaan. Dia tidak ingin kehilangan Si Imigran yang sangat loyal kepadanya. Itu sama saja seperti kehilangan sebuah permata paling cermelang di mahkotanya.
Namun, Si Imigran kali ini entah mengapa bersikap sangat tegas-sebuah sikap yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya.
Dia mengatakan bahwa hidupnya kini telah jauh membaik berkat ‘uang santunan’ yang diberikan sang pemilik restoran setiap bulannya sehingga kini ia memutuskan bergerak ke kota yang lebih besar dan menyewa sebuah apartemen yang layak. Si Imigran juga mengatakan bahwa dia ingin membuka usaha kecil-kecilan dan menghasilkan uang dengan tangannya sendiri.
Sang pemilik restoran secara terang-terangan menunjukkan kecemasannya saat dia mengatakan, “Jika kamu menginginkan uang, saya bisa memberikan kamu gaji 5 kali lipat dari seluruh karyawan di tempat ini.”
Si Imigran menggeleng.
“Sepuluh kali lipat?” Sang pemilik restoran menawar lagi, matanya mulai menunjukkan binar harapan, memberikan tawaran yang jumlahnya sudah tidak masuk akal.
Si Imigran menggeleng lagi.
“Selama saya masih belum menghasilkan uang dengan usaha yang saya bangun dengan tangan saya sendiri, saya selalu merasa ada bagian penting yang hilang dalam hidup saya,” jelasnya.
Si Imigran juga menyampaikan terima kasih yang sangat dalam karena tanpa bantuan sang pemilik restoran, dia mungkin sudah lama mati.
Sang pemilik menyetujui Si Imigran itu untuk pergi. Namun, jika Si Imigran gagal meraih peruntungan, dia mengatakan bahwa pintu restorannya selalu terbuka lebar.
Dengan akhir perpisahan yang baik, Si Imigran pergi ke kota yang cukup besar.
Dia menyewa apartemen, dan membangun bisnis restoran dengan menu yang sama persis—dia hanya melakukan pengubahan nama menu-menu tersebut—dengan restoran tempatnya bekerja sebelumnya.
Dengan pengalaman yang dia miliki, Si Imigran tahu di mana dia bisa menemukan bahan baku termurah dengan kualitas terbaik. Dia juga tahu cara membuat bumbu yang digemari warga lokal serta tingkat kematangan yang pas dari setiap makanan.
Pada titik ini, Si Imigran sudah tidak takut untuk menunjukkan potensi sejatinya.
Awal berdagang, dia hanya mengambil margin keuntungan yang sangat tipis. Tidak sampai 5%. Bahkan, dalam beberapa hari besar, dia membuat discount hebat yang justru membuatnya nombok.
Kalau begitu rupa, dari mana kiranya Si Imigran mendapatkan uang untuk makan, sewa apartemen, dan sewa toko?
Tentu saja, Si Imigran terbantu dengan kebiasaan super hemat yang dia lakukan sewaktu masih bekerja di restoran kecil itu. Uang-uang bonus yang diberikan sang pemilik restoran masih bertahan di celengannya hingga sekarang.
Dengan seluruh dana itu, dia berhasil bertahan hidup selama berbulan-bulan di kota besar tanpa kesulitan.
Setelah beberapa minggu melewati masa-masa promosi, bisnis restorannya meroket ke angkasa. Orang-orang mengenalnya sebagai: makanan enak yang murahnya kebangetan.
Si Imigran mulai menaikkan margin keuntungan perlahan demi perlahan. Singkat waktu, dia mampu membuka lebih banyak cabang di berbagai kota besar lain.
Tentu saja, seekor naga akan berbagi tempat pada naga yang pernah menolongnya, dia mengharamkan diri untuk membuka cabang di negara bagian tempat restoran yang pernah menyelamatkannya dahulu. Namun, sayang sekali, restoran kecil itu hanya memiliki empat cabang lokal yang tidak terlalu dipandang meski makanannya sama-sama enak, sama sekali tidak bisa disebut.
Si Imigran telah menjadi naga baru yang secara mengejutkan melesat dan menguasai seluruh langit dunia makanan pada era itu.
Sedari awal, Si Imigran tahu bahwa potensinya terletak pada membuat bisnis kuliner, itulah mengapa dia secara khusus memilih bekerja di restoran.
Namun, alih-alih menunjukkan ketertarikannya pada bisnis kuliner, ia justru menyembunyikan niat dan potensinya dengan mengatakan bahwa seluruh harapannya telah pupus setelah kalah perang dan keluarganya dibunuh. Si Imigran juga menawarkan “sebuah tawaran yang tidak bisa ditolak” kepada sang pemilik restoran, tanpa secara berlebihan menjual kisah sedihnya untuk menarik rasa iba.
Dia bersedia menderita di awal. Seekor naga memiliki visi yang jelas serta keyakinan yang kukuh, dia percaya bahwa suatu hari di masa depan nanti langit akan menjadi miliknya, maka menderita sedikit di parit kecil untuk sementara waktu bukanlah masalah.
Catat poin ini: visi yang jelas akan membantu Anda melewati penderitaan yang keras dan berkepanjangan.
Si Imigran sebenarnya tidak pernah terjebak di status quo ketika semua orang mengira dirinya telah terjebak di sana. Dia tidak perlu menunjukkan pada orang lain bahwa dirinya sedang berkembang karena dia tahu bahwa tidak semua orang suka melihat orang lain bergerak melampaui mereka.
Konsistensi yang dia lakukan membawanya dalam kebosanan selama tiga tahun penuh. Jika ada orang yang mengatakan bahwa perbedaan antara konsisten dengan kebosanan hanya setipis benang, boleh saja dia benar.
Ini bukan berarti bahwa kamu benar-benar tidak boleh menunjukkan potensimu di depan orang lain. Hanya saja, kamu perlu memahami bahwa tidak semua orang suka melihat potensimu itu. Hanya tunjukkan potensi yang kamu miliki pada orang-orang yang akan mendukungmu untuk berkembang.
Belum ada Komentar untuk ""Cara Naga Menaklukkan Seisi Sungai" bagian satu: Seekor Naga Mengetahui Cara untuk Tetap Membuat Potensinya Tersembunyi"
Posting Komentar