Eps. 2 Orang Berjubah Panjang
MANTINGAN segera menggelengkan kepalanya. Dia berkata, “Dikau memiliki kapal lain di armadamu?”
Sedikit ragu, sang penaja menjawab, “Tentulah kami memilikinya, tetapi semua kapal itu ditujukan untuk berlayar ke Suvarnadvipa, bukan Champa maupun wilayah lain.”
“Kalau begitu, daku akan menyewa salah satu kapal kalian berikut dengan seluruh awaknya. Berapakah jumlah yang mesti kubayar?” Mantingan berkata lagi.
“Menyewa kapal?” Sang penaja melirik Mantingan dari atas sampai bawah, menemukan betapa pemuda itu sama sekali tidak memiliki tampang selaksana saudagar besar. Demikian kemudian dia berkata, “Saudara, daku tidak memiliki waktu untuk bergurau denganmu. Menyewa bahkan hanya satu kapal dari armada kami adalah sesuatu yang tidak dapat engkau bayar begitu saja.”
“Katakan berapa jumlahnya.” Mantingan bersikeras, mulai menatap si penaja dengan tajam.
“Dengan perjalanan menuju Champa, dikau harus membayar 20,000 keping emas, itu pun belum termasuk jika didapati kerusakan pada kapal setelah kembali, tetapi dikau telah mendapatkan seluruh awak kapal berikut dengan seorang laksamana untuk memimpin perjalanan.”
Mantingan hendak meraih salah satu bundelannya, tetapi kemudian ia teringat bahwa seluruh Batu yang dimiliki olehnya telah diberikan kepada ibu pemilik kedai di Kotaraja Koying. Kini, ia hampir tidak memiliki uang sama sekali.
Melihat pemuda di hadapannya yang hanya bisa termangu, sang penaja merasakan kekesalan karena menganggap waktunya telah terbuang sia-sia untuk suatu gurauan.
“Pergilah kamu, orang miskin! Jikalau tidak mampu membayar, janganlah mengganggu atau mencoba membuat penipuan denganku!” Wajah sang penaja memerah. “Pergilah sebelum daku cabut golokku!”
Mengepalkan tangannya demi menahan amarah, Mantingan berbalik menghadap Bidadari Sungai Utara. Dilihatnya gadis itu dengan penyesalan. Betapa nyata-nyatanya, hingga saat ini pun ia masih belum dapat melindungi kekasih hatinya itu dengan penuh.
“Daku harus menemui beberapa orang untuk mendapatkan uang,” kata Mantingan kemudian. “Maafkan daku, tetapi sepertinya dikau harus bertahan lebih lama lagi di Javadvipa.”
Menatap Mantingan dengan lembut dari balik bayang-bayang capingnya, Bidadari Sungai Utara berkata, “Javadvipa tidaklah semengerikan itu, betapa selama daku bersama dikau, tiada satupun tempat menjadi terlalu menakutkan.”
Adapun orang-orang yang ingin Mantingan temui sebenarnya tidaklah begitu banyak, bahkan boleh jadi hanya satu. Bukankah selama malang melintang di telaga persilatan, pendekar muda itu lebih banyak menambah musuh ketimbang teman?
Bahkan kini, dengan Tarumanagara yang mati-matian memburunya hingga Suvarnadvipa sekalipun, sesungguhnya sangat berbahaya bagi Mantingan untuk mengungkap jati dirinya sekalipun pada orang yang pernah memiliki hubungan baik dengannya.
Namun, Mantingan tidak memiliki banyak pilihan. Bidadari Sungai Utara tidak akan bisa pergi ke Champa tanpa pelayaran, sedangkan pelayaran tidak akan angkat sauh tanpa adanya keping emas.
Keadaan seperti ini menjadi semakin terasa mengiris benak mengingat betapa sebelumnya Mantingan memiliki uang yang teramat banyak, bahkan boleh jadi dirinya menempati urutan pertama sebagai pendekar dengan harta kekayaan terbanyak seantero rimba persilatan.
“Di manakah daku akan menetap selama kepergianmu, Mantingan?” Bidadari Sungai Utara bertanya, seketika memecahkan lamunan Mantingan.
“Mengapa dikau harus menetap?” Mantingan mengerutkan dahi. “Pergilah bersamaku, Sasmita. Teramat rawan dikau bila tidak dekat denganku.”
Begitu jelas sebenarnya alasan Mantingan meminta Bidadari Sungai Utara untuk turut bersamanya ke mana jua hendak berpergi. Javadvipa, atau boleh jadi Suvarnadvipa pula, atau justru-justru seluruh Dvipantara, telah mengincar Putri Pham Lien demi mencipta kerusuhan antara Javabhumi dengan Champa, melengserkan wangsa-wangsa yang berkuasa di tanah makmur nun subur ini.
Bahkan sesepuh persilatan yang semestinya bersamadhi untuk menghayati ilmu persilatan hingga maut menjemput, telah jua memburu Bidadari Sungai Utara. Kekuatan mereka tentulah jauh dari pendekar-pendekar muda yang masih malang-melintang mencari pengalaman, terlebih lagi untuk seukuran seorang putri kerajaan besar sebagaimana Bidadari Sungai Utara itu.
Hanyalah Mantingan, sebagai pendekar terkuat di atas pendekar terkuat, yang mampu dengan betul-betul melindungi Bidadari Sungai Utara dari segala macam ancaman para ahli telaga persilatan.
Tiada seorang yang lain.
Bidadari Sungai Utara tersenyum, memahami gagasan yang menjadi pola pikir utama Mantingan, maka dia kemudian mengangguk paham.
“Kita perlu meninggalkan pelabuhan ini sesegeranya,” kata Mantingan meraih lengan ramping Bidadari Sungai Utara untuk selanjutnya menggandengnya pergi dari tempat itu.
Namun, tak lebih dari dua langkah maju yang diambil Mantingan setelah itu, tetiba saja melintas cepat seseorang dengan jubah panjang serta bertudung lebar yang sempurna menutupi seluruh bagian tubuhnya bagai tanpa cela. Orang itu sedikit saja melambaikan tangannya kepada Mantingan dan Bidadari Sungai Utara, sebagai pertanda betapa mereka harus segera mengikutinya.
Mantingan sontak mengubah haluan langkah kakinya demi mengikuti jalannya orang serba tertutup itu, ketika tiba-tiba Bidadari Sungai Utara menarik tangannya.
‘Jangan. Daku mendapat firasat buruk,’ berkata gadis itu dalam pandangan matanya.
‘Percayalah padaku,’ balas Mantingan, yang pula melalui tatapan mata, ‘daku sanggup melindungimu sekalipun orang itu berniat jahat.’
Bidadari Sungai Utara hanya dapat mengangguk dan membiarkan saja lengannya digandeng Mantingan mengikuti arah perginya orang berjubah panjang dan bertudung itu, meski gejolak firasatnya semakin bertambah buruk dari setiap langkah yang dia ambil.
Awalnya biasa saja tapi setelah membaca lebih dari 1 chapter akhirnya tergila2 dengan novel ini...
BalasHapus