Hubungi Kami × +
Nama

Email Address*

Pesan*


About

Eps. 1 Pelabuhan Ujung Kulon


MUNDING Caraka melesat terbang tanpa perlu diperintah. Kecepatannya pun tidak seperti biasa. Jelas kerbau itu telah mengerti tentang kegentingan semacam apa yang sedang dihadapi majikannya.

Mereka bergerak cepat menuju barat. Mantingan mengandalkan kemampuannya membaca rasi bintang untuk memberikan arah yang benar pada Munding Caraka, sebelum kemudian dirinya terbenam dalam perdebatan luar biasa di dalam kepalanya.

Sesungguhnya dengan Sepasang Pedang Rembulan yang kini ditanggungnya, bukan mustahil bagi Mantingan untuk mengalahkan gabungan kekuatan dari para ahli telaga dan rimba dunia persilatan yang telah menunggu kedatangannya di Tanjung Kalapa itu, tetapi hal itu sama saja dengan menghancurkan dunia persilatan dengan kehancuran paling tak terbayangkan.

Terlebih lagi dengan pertimbangan bahwa antara sesama Pemangku Langit tidak boleh terjadi pertarungan, justru semestinya mereka bekerjasama untuk menjaga keseimbangan dunia persilatan. Hal inilah yang Mantingan tidak mengerti. Mengapa Pemangku Langit itu juga datang ke Tanjung Kalapa untuk menunggunya?

TIADA sepatutnya dua matahari berada di satu cakrawala, maka begitulah pula tidak boleh dua Pemangku Langit  berada di wilayah yang sama. Sekalipun mereka memang bertugas menjaga keseimbangan dunia persilatan bersama-sama, itu sama sekali tidak berarti bahwa keduanya harus saling bertemu dan merumuskan sesuatu.

Bila antara sesama Pemangku Langit lebih sering bertemu, mereka akan berakhir dengan mengurus kepentingan di antara mereka saja, dan justru menelantarkan urusan-urusan dunia persilatan dengan segenap pendekar di dalamnya yang seharusnya menjadi tanggungan mereka.

Kiai Guru Kedai pernah berkata:

“Menggauli sesama bukan saja berarti dalam perkara badaniah. Dalam urusan tata kenegaraan, rakyat diibaratkan sebagai perempuan yang selazimnya dipimpin, sedang raja dan para petingginya disamakan dengan lelaki yang semestinya memimpin. Bila antara petinggi kerajaan hanya saling menyenangkan di antara sesama mereka, sehingga begitu rakyat sebagai perempuan menjadi ditelantarkan begitu rupa, maka di sanalah pergaulan sesama jenis dapat menjadi sangat menghancurkan.”

Namun, Kiai Kedai pula tidak menyampingkan pergaulan sesama jenis dalam artian badaniah, yang dikatakannya sama menghancurkannya dengan pergaulan sesama jenis dalam artian tata kenegaraan.

“Di Javadvipa, pergaulan sesama jenis tetaplah ada, meski lingkupannya amat terbatas sebab sebagian besar orang tidak dapat menerimanya sebagai suatu kelaziman. Tetapi Mantingan, daku bersumpah atas darahku sendiri, bukanlah pergaulan sesama jenis itu yang dikehendaki oleh Sang Gusti. Dia telah menciptakan segala sesuatu dengan dua atau beberapa jenis yang saling berbeda, sehingga mereka dapat berpasang-pasangan, sehingga mengapakah mereka justru memasangkan sesuatu yang tidak dapat dipasangkan, yakni sesuatu yang sejenis dengan mereka?”

Di bawah langit gulita menjelang pagi itu, dengan bintang-bintang masih bertahtah menghiasinya, Mantingan tidak dapat tak teringat akan Chitra Anggini yang mati di ujung pedangnya itu. Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat gadis itu mengadu bibir dengan sesama perempuan, tetapi beruntunglah betapa Chitra Anggini sebenarnya masih menyukai lelaki, yang tentu bukan lain dan bukan tidak adalah Mantingan.

Tanpa disadari, kini tubuhnya mulai menggigil. Menjelang pagi, udara memang menjadi sangat dingin. Terlebih-lebih lagi, dirinya sedang terbang menunggangi Munding di langit yang berdebur-debur anginnya. Dilihatnya Bidadari Sungai Utara juga bergetar tubuhnya.

Tidak perlu berpikir panjang, Mantingan segera merangkul tubuh gadis itu dari belakang sebelum mengerahkan tenaga prana dalam jumlah besar. Kali ini, dirinya tidak perlu khawatir akan kehabisan prana, sebab udara dingin seperti ini pula menyimpan cadangan tenaga prana yang tidak sedikit.

Dengan tenaga prana itu, tubuh Bidadari Sungai Utara berhenti bergetar perlahan demi perlahan. Kini hanya kenyamanan yang meliputi dirinya, dan memang tiada hal lain kecuali kenyamanan itu sendiri.

“Dikau membuatku ingin terlelap, Mantingan.” Gadis itu berbisik perlahan, yang tetap terdengar cukup jelas di tengah riuh deburan angin. “Tetapi, bagaimana jika diriku terjatuh?”

“Diriku akan terus mendekap dikau selama apa pun,” balas Mantingan dengan Ilmu Membisik Angin, “dan jika setelah semua itu dikau tetap terjatuh, daku akan menyusul.”

Maka seketika itu pula Bidadari Sungai Utara terlelap dalam tidurnya, bagai tiada tersisa lagi hal lain yang perlu dia risaukan. Biarkanlah dirinya begitu pulas begitu, sebab dipan di kedai makan malam tadi tidaklah dapat membuatnya benar-benar tertidur. Bagaimanakah bisa seorang putri kerajaan yang terbiasa dengan ranjang empuk itu harus tidur di atas dipan kayu buluh yang serba keras?

Mantingan terus mendekapnya sambil mengalirkan tenaga prana. Udara pagi di antara mega-mega itu bagai tidak berpengaruh sama sekali pada mereka berdua, sebab kehangatan dari tenaga prana meliputi mereka bagai selembar selimut tebal.

Bila tidak mengingat bahwa Munding masih memerlukan tuntunan arah, Mantingan tidak jadi terlelap meskipun kepalanya kini terkantuk-kantuk. Bukan sebab tenaga prana itu yang membuatnya sedemikian mengantuk, sebab prana tidak akan dapat dikeluarkan bila penggunanya terkantuk-kantuk, melainkan oleh karena Bidadari Sungai Utara yang kini berada dalam dekapannya. Ketika diingatnya kembali kehangatan dan kasih sayang gadis itu, dirinya merasa sangat nyaman, bahkan boleh saja terlalu nyaman, sehingga perasaan itu hanya membawanya pada kantuk.

 

 

***

 

MANTINGAN dan Bidadari Sungai Utara akhirnya sampai pula di sebuah pelabuhan besar di Ujung Kulon, sebuah wilayah yang cukup pesat kemajuannya dalam bidang pelayaran, sehingga menjadi tempat bagi pelabuhan tersibuk urutan ketiga seantero Tarumanagara.

Pelabuhan itu menjadi tempat penyeberangan utama menuju Suvarnadvipa. Hal itu tidak terlepas dari wilayah Ujung Kulon yang terletak di bagian selatan, sehingga perjalanan kapal dari maupun menuju Suvarnadvipa dapat terjamin ketepatannya, hanya ada sedikit kemungkinan pelayaran akan melenceng terlalu tajam ke utara sehingga tidak akan pernah sampai ke pulau penuh emas itu melainkan lautan luas yang antah-berantah.

Perlulah diingat bahwa angin timur tidak sepenuhnya bergerak ke arah barat, melainkan sedikit melenceng ke utara. Begitu jua dengan angin barat yang tidak benar-benar bertiup ke arah timur, melainkan melenceng sedikit ke selatan.

Pada masa angin timur berlangsung, pelabuhan Ujung Kulon akan selalu ramai oleh saudagar-saudagar yang hendak menyeberang ke Suvarnadvipa, dan penghujung masa angin timur seperti sekarang ini akan menjadi puncak keramaian.

Masih dalam penyamarannya sebagai penyoren pedang kelana, Mantingan mendatangi salah satu penaja yang sedang melantangkan segala sesuatu tentang kapal yang dijajakannya pada kerumunan manusia yang terus bergerak melaluinya begitu saja.

“Ayo, Tuan! Ayo, Juragan! Hanya sepuluh keping emas saja, sudah dengan satu kali makan di dalam kapal! Kami pastikan setiap penumpang mendapatkan kasur untuk beristirahat! Ayo, Tuan! Ayo, Juragan!”

Ketika Mantingan berada tepat di hadapannya, penaja itu untuk sejenak menghentikan ucapannya yang berulang-ulang dengan kalimat yang selalu sama itu. Dipandanginya pemuda itu dari atas sampai bawah terlebih dahulu dengan betul-betul, ialah termasuk penting sebab dia harus menentukan panggilan yang pantas untuk calon pelanggannya. Meskipun tidak dapat melihat wajah Mantingan sepayah apa pun si penaja memincingkan mata, dia tahu bahwa yang dihadapinya saat ini adalah orang muda.

“Tuan Pendekar!” katanya langsung. “Kami memiliki kapal dengan harga yang teramat murah, Tuan, cukuplah sepuluh keping emas saja bagi Tuan Pendekar untuk sampai di Suvarnadvipa. Tuan akan mendapatkan selembar kasur dan satu kali makan di dalam kapal. Kami juga menyediakan belasan bilik buang air, sehingga Tuan sama sekali tidak perlu menunggu penumpang lain jika mendapat panggilan alam.”

“Daku tidak ingin pergi ke Suvarnadvipa,” kata Mantingan tanpa basa-basi. “Adakah dikau menyediakan pelayaran menuju Champa atau setidak-tidaknya Semenanjung Malaya?”

Senyum di wajah si penaja sedikit berkurang, dengan sedih dirinya mengatakan, “Maafkanlah, tetapi agaknya Tuan salah tempat. Sangat sulit menemukan kapal yang berlayar menuju Champa di pelabuhan ini. Lebih baik Tuan Pendekar bersegera pergi ke Tanjung Kalapa sebelum angin timur ini habis, di sana banyak sekali pelayaran menuju negeri seberang termasuk Champa.” (W.R.)


Untuk mendapatkan notifikasi pembaruan update melalui email, klik opsi berlangganan di bawah. Setelah mengirim formulir, kamu akan mendapatkan sebuah email untuk verifikasi.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Show comments
Hide comments

1 Komentar untuk "Eps. 1 Pelabuhan Ujung Kulon"

Subcribe

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Dukung penulis di karyakarsa.com/WestReversed