Kitab Ki Gadung 3
Sedayu mendesah pelan. Kalau begini, bisa-bisa mati kelaparan, pikirnya begitu.
Padahal sesungguhnyalah, tak menyentuh makanan hanya untuk satu malam tiada akan dapat membunuh pendekar dengan kemampuan setingkat Sedayu maupun Pram, bahkan manusia biasa pun tidak akan mendapatkan masalah jika hanya semalaman tidak makan. Bagaimanakah kiranya jalan pikir Sedayu?
Saat perempuan itu mulai merasa jenuh, tetiba saja matanya menangkap pergerakan dari dalam semak-semak. Suara bergemeresak menyertai pergerakan itu.
Pram mengernyitkan dahi saat melihat Sedayu langsung melesat ke dalam semak-semak itu. Menusuk tombaknya seperti celeng yang sedang buta, tak peduli mengenai sasaran atau tidak.
Hinggalah sesaat kemudian Sedayu tertawa keras. Dia mengangkat tombaknya tinggi-tinggi. Darah segar mengalir di batang tombak itu hingga ke tangannya yang putih bagai pualam.
Sebuah kelinci kecil yang hancur setelah dihunjam tombak berkali-kali tampak tampak tertancap di ujung benda itu. Malang sekali nasib hewan kecil tersebut. Pram hanya dapat menghela napas panjang, sementara Sedayu makin tertawa keras laksana orang gila yang bahkan sedang kesurupan!
"Akhirnya! Makanan!"
"Caramu membunuh itu sangat tidak baik, Sedayu." Pram berdecak pelan beberapa kali sebelum maju selangkah. "Untuk kelinci kecil ini, kau hanya perlu menombaknya sekali saja, lalu menyembelihnya cepat-cepat. Kalau begini caranya, kematiannya pastilah terasa sangat menyakitkan."
"Wahai manusia yang tidak diketahui alirannya, aku telah mendapatkan makanan untuk kita berdua. Kenapa kau tidak senang dan justru memarahiku?"
"Aku memang tidak senang dengan sikapmu, Sedayu. Lagi pula, aku sudah punya makanan."
Sedayu mengernyitkan dahi. "Makanan? Kau ... jangan bilang kalau dirimu membawa makanan tanpa memberitahuku?"
Pram mengangkat bahu. "Tidak. Aku hanya berburu bersamamu di sini, lalu kembali ke perkemahan dan membakar seekor rusa besar di api unggun. Saat ini pastinya sudah matang."
Wajah Sedayu pucat. Bagaimana bisa? Jelas-jelas pemuda itu selalu ada di sebelahnya sedari tadi. Bersamanya. Atau jangan-jangan, yang menemaninya bukanlah Pram melainkan setan alas?!
"Bagaimana bisa ...."
"Sedayu. Kau hanya mendengar suaraku, tanpa menoleh ke belakang sedikitpun. Saat bicara dengan seseorang, alangkah baiknya kau tatap langsung padanya, bukan? Lagipula, seorang pendekar mestilah selalu berwaspada, tidak mudah percaya pada apa yang dilihat tetapi tidak didengarnya; dan pula tidak mudah percaya pada apa yang didengar tetapi tidak dilihatnya."
Pram adalah pendekar tingkat tinggi. Ia mampu membisik angin, dan angin itulah yang akan membawa suaranya ke telinga Sedayu. Jadilah perempuan itu merasa bahwa Pram selalu berjalan di sebelahnya.
"Cerewet. Lebih baik kita kembali ke api unggun sekarang, ketimbang aku ditipu lagi." Sedayu menghela napas panjang, merasa bahwa betapa pun hewan buruannya menjadi sia-sia saja. Apalah artinya seekor kelinci bila dibandingkan dengan rusa besar yang bahkan telah siap santap?
Pram hanya mengangkat alisnya sekali sebelum mengikuti Sedayu dari belakang.
***
Lahap sekali makannya. Bagai dia bukan wanita. Satu kelinci langsung dilahap habis. Hanya tulang-belulang yang disisakannya. Sekarang masih pula mencicipi rusa bakar besar hasil buruan Pram.
"Omong-omong, siapa namamu?" Sedayu akhirnya bertanya soal nama Pram.
"Kau bisa panggil aku Pram," jawab pemuda itu singkat saja sebelum memotek daging rusa.
"Pram? Hanya itu saja? Tidak biasanya nama orang sependek namamu."
"Untuk nama lengkapku, kau tak perlu tahu."
Sedayu mendengus, menghabiskan daging rusa bakar di tangannya. Mengambil lagi.
"Jangan ambil terlalu banyak makanan seperti itu, Sedayu. Makanlah secukupnya saja. Aku khawatir besok-besok kau memiliki masalah dengan pencernaan yang dapat saja berdampak pada perjalanan."
"Rusa ini tidak akan habis dengan sendirinya. Harus ada yang memakannya, bukan?"
"Tetapi bukan hanya kau yang bisa makan daging rusa sebanyak ini."
"Apa maksudmu?" Sedayu menajamkan pandangan. “Kau bisa melahap semua rusa ini sendirian?”
"Bukan begitu. Maksudku, kau bisa manfaatkan daging rusa ini untuk membuktikan kebaikanmu." Pram membersihkan tangannya dengan mengalirkan tenaga dalam, sehingga segala kotoran di tangannya itu menguap begitu saja. "Kalau kau mengerti, kau tahu apa yang harus dilakukan."
Sedayu berpikir sejenak, sebelum mencetus, "Ah, ya! Bagaimanakah keadaan desa yang akan kita datangi nanti? Miskin, atau keberlimpahan?"
"Gersang. Padi tak banyak tumbuh. Hewan ternak kurus kerontang. Banyak orang dewasa kelaparan di sana, belum lagi anak-anak."
"Kasihan." Sedayu berkata lirih, walau ia tak terlihat sedih sama sekali. "Rusa ini bisa dibawa ke sana. Untuk anak-anak desa makan. Mereka pasti belum pernah mencicipi daging rusa bakar, apalagi yang seenak ini."
"Terima kasih. Secara tak langsung kau memujiku." Pram tersenyum lebar, lebih karena ia puas dengan keputusan Sedayu.
"Terserah kau." Sedayu bangkit, mengambil selembar kain lebar dari dalam bundelannya.
Rusa bakar itu dibungkus ke dalam kain itu setelah dipotong kecil-kecil dan disisihkan tulangnya hingga membentuk sebuah bundelan yang siap dikalungkan di pundak dengan tali penyambung.
"Aku berbuat baik, ya?" Sedayu merasakan suatu perasaan aneh dalam dirinya. Perasaan yang cukup jarang dia rasakan.
"Baru akan berbuat baik lebih tepatnya, kecuali daging itu tidak kau makan di tengah jalan." Pram tertawa pelan.
"Enak sekali mulutmu berkata. Aku lebih kasihan pada anak-anak kelaparan di desa itu ketimbang diriku sendiri. Sudahlah! Lebih baik aku tidur daripada berdebat denganmu."
Sedayu berdiri. Mengentak kaki sekali. Kesal. Lantas pergi ke lembaran-lembaran daun pisang miliknya. Langsung terlelap.
Pram tersenyum tipis. Dirinya telah berniat untuk tidak tidur malam ini. Harus ada yang berjaga. Lagi pula, dirinya sama sekali tidka mengantuk.
Pram mengambil bentuk duduk bersila. Dirinya bersamadhi, untuk mengisi kembali Prana yang sedikit terbuang tadi.
***
Pagi menjemput. Burung-burung bernyanyi. Bayangan-bayangan memanjang ke ufuk barat. Hangatnya serasa memeluk badan.
Perempuan yang bernama Sedayu itu bangun dari tidurnya. Menghirup kabut tipis yang teramat sejuk. Mengucek mata satu-dua kali. Memandang sekitar, demi kemudian menemukan Pram sedang duduk bersila di atas alas daun pisangnya.
"Kau bangun pagi-pagi sekali," katanya, yang boleh saja diartikan sebagai sapaan.
Namun sayangnya, Sedayu salah. Pram tidak tidur semalaman. Pram diam tak menjawab. Sedayu memilih acuh juga, mencuci muka dengan air minum.
"Berkemas." Pram berkata pelan, tetapi cukup tegas, matanya masih terpejam dengan teramat khidmat. "Kita berangkat sebentar lagi."
Jika ingin mendapatkan notifikasi update, maka silakan isi form di bawah dan konfirmasi melalui email. Setelah itu, kamu akan mendapatkan notifikasi update melalui email yang didaftarkan.
Belum ada Komentar untuk "Kitab Ki Gadung 3"
Posting Komentar