Hubungi Kami × +
Nama

Email Address*

Pesan*


About

Kitab Ki Gadung 2


 "Saya tahu ... dari ... saya pernah berhasil ... maksudku guruku pernah berhasil mencuri kitab itu. Dia membacanya ... walau sekilas. Hanya sekilas!" Meskipun keadaannya saat ini dapat dikatakan sangat baik, dara itu tetap terbata-bata di hadapan Keris Merpati Biru.

Pram mengembuskan napas panjang sambil menggeleng pelan. Kitab gurunya itu memang pernah berhasil dicuri beberapa kali. "Sekarang biar kutanyakan, apakah engkau sungguh ingin kembali ke jalan kebenaran?"

Gadis itu tanpa ragu mengangguk pasti. Pram kembali menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. Tak ada kebohongan terselip di mata si gadis.

Pram lantas menyarungkan Keris Merpati Biru. Berkata lembut, "Siapa namamu?"

"Sedayu." Dara itu berkata ragu, namanya di dunia hitam begitu terkenal, ia punya banyak musuh dari Aliran Putih.

"Baiklah, Sedayu. Aku tetap membutuhkan pembuktian bahwa kau memang benar-benar ingin kembali ke jalan yang benar."

"Cukup berikan kitab itu, selesai urusan. Kau memang suka cari jalan susah, ya?" Sedayu mencibir.

"Jangan paksa aku menarik kerisku, yang tentunya akan kusarungkan kembali bersama darahmu."

Sedayu mendecih kemudian meringis pelan. Betapa pun, kesehatannya masih belum pulih sepenuhnya. 

"Apa yang harus saya lakukan untuk meyakinkanmu, wahai manusia dari Aliran Putih?"

"Aku bukan Aliran Putih. Sulit dijelaskan. Sebab Aliran Putih sendiri masih sering membentuk golongan-golongan yang berpecah-belah, dan setiap golongan itu merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka. Saling bertentangan. Saling merasa paling benar. Kau akan mengerti sendiri nantinya." Pram mengangkat bahunya. "Kau harus melakukan apa? Mudah saja. Turun bukit. Aku akan ikut bersamamu. Buktikan kesungguhanmu."

"Itu terlalu lama, Bodoh! Saya tak punya banyak waktu. Lihat, diriku sekarat sekarang!"

Pram tak mau banyak bicara dengan gadis ini. Ia menyentuh bahu Sedayu. Prana miliknya mengalir, membersihkan tubuh Sedayu. Memberinya kehangatan dan kenyamanan. Kondisinya menjadi jauh lebih baik ketimbang sebelumnya. Bahkan kini Sedayu menjadi lebih sehat ketimbang saat dirinya pertama kali menjejakkan kaki di Bukit Kalajengking untuk menantang Pram. 

"Katakan alasanmu yang lain jika ada," kata Pram acuh tak acuh. 

Sedayu hanya mendengus sebelum mengambil jalan menuruni bukit.

Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk turun dari barisan bukit. Langsung bergabung dengan jalan setapak yang membelah belantara. Mengarah langsung menuju desa terdekat yang jaraknya sekitar dua hari berjalan kaki dari tempat itu.

Pram benar-benar hanya mengikuti Sedayu. Ia tak banyak berpendapat. Membiarkan Sedayu memimpin jalan di depan.

Dalam benaknya, Pram benar-benar ingi melihat ketulusan gadis itu dari perbuatan. Bukan dari mulutnya yang dapat saja merupakan bualan. Bukan pula dari sorot matanya yang mungkin saja merupakan sandiwara.

Saat malam tiba, Sedayu memutuskan untuk beristirahat. Mereka membuat api unggun dan tempat tidur sederhana dari helai-helai daun pisang.  Bagi pendekar seperti mereka, dinginnya malam bukanlah menjadi sebuah masalah.

Perut Sedayu mengeluarkan suara yang terdengar bagai guntur. Jelas lapar. Melirik Pram, tetapi pemuda itu hanya mengangkat bahu. Tak mau tahu. 

Maka terpaksalah Sedayu bergerak masuk ke dalam hutan dengan tombak dan obor seadanya yang dia buat dengan secepat mungkin. Pram terus mengikuti di belakang, bersikap seolah tak waspada dan tak peduli sekalipun Sedayu tiba-tiba saja mati.

"Waspadalah, manusia tanpa aliran. Ini hutan yang berbahaya!" Sedayu memperingatkan, berharap bahwa hal itu dapat dicatat sebagai kebaikan.

"Berbahaya? Kau tak lihat rusa besar yang lari saat melihatku barusan?" 

Sedayu mendesah sebal. Pantas sajatak ada hewan buruan. Mereka tentu takut pada Pram, pemuda itu sudah dikenal hewan-hewan buas di sini sebagai manusia yang patut dihindari.

"Pergilah kau. Kembali ke api unggun, kamu hanya mengganggu saya di sini," pinta Sedayu.

"Aku tak bisa meninggalkanmu. Bisa-bisa kau lari dan kembali menusukku dari belakang." Pram berkata enteng.

Sedayu mengumpat dalam benak, sebab memang itulah rencananya.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Buka komentar
Tutup komentar

Belum ada Komentar untuk "Kitab Ki Gadung 2 "

Posting Komentar

Subcribe

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Dukung penulis di karyakarsa.com/WestReversed