Kitab Kiai Gadung 1
Episode 1: Pencuri Kitab
Matahari terpancang tepat di batas cakrawala. Menebar semburat jingga ke segala arah. Tampaknya malam telah siap menjemput, tetapi Pram masih berdiri kukuh di puncak Bukit Kalajengking. Menatap senjakala yang mahaindah dengan segala kejinggaan dan keremangannya.
Pemuda tinggi dengan otot kekar di balik balutan jubah putih itu mengembuskan napas silir. Matanya yang kecoklatan itu telah menjadi kejinggaan sebab terbias cahaya langit yang pula kejinggaan. Kedua tangannya terlipat ke belakang, sadar tak sadar bersentuhan dengan kerisnya yang bernama Merpati Biru.
Meski wajahnya yang tampak putih bersih itu menampilkan ketenangan yang bagai tiada tara, tetapi sebenarnya-benarnyalah benaknya sedang teramat gusar. Entah apa yang tengah dipikirkannya saat ini.
“Waktunya sudah tiba,” ucapnya dengan suara teramat lirih, hampir tak dapat terdengar sama sekali sebab angin tengah bersiuh kencang, seolah-olah ingin menculik perkataannya.
Kembali Pram terdiam. Desir angin yang menggantikannya. Riuh, seriuh benak Pram yang campur aduk.
“Tetapi aku tidak memiliki cukup keberanian.” Pram kembali berkata, sebab angin tiba-tiba saja berhenti bersiuh. Pertanda akan sesuatu!
Pram lantas memandang ke bawah, tepatnya ke arah kaki Bukit Kalajengking. Berhentinya angin itu seolah menandai sesuatu. Dan benar saja, Pram melihat seseorang tengah berjalan di atas jalan setapak yang mengarah ke puncak bukit—tempatnya berdiri saat ini.
Pram mengerutkan kening. Bukit Kalajengking berada cukup jauh dari peradaban. Amat sangat jarang ada orang lain yang mengunjungi bukit ini, terkecuali pendekar-pendekar rimba persilatan yang tak ada habisnya selalu datang dengan niat mencuri kitab gurunya.
Ketika orang itu semakin mendekat, Pram segera menyadari bahwa yang datang kali ini adalah manusia berjenis perempuan. Memanglah jika dari jauh, tidak tampak jelas apakah dirinya adalah lelaki atau perempuan, terlebih lagi dengan mengenakan pakaian serba hitam seperti itu di tengah keremangan senjakala, yang semakin membuat tubuhnya tampak seperti bayang-bayang belaka.
Pram bersiap menyambut perempuan itu dengan ramah ketika terdengar suara lantang dari orang itu yang sama sekali tidak bernada ramah.
“Wahai orang yang berdiri di sana! Saya datang untuk menjemput Kitab Kiai Gadung, bersiaplah untuk menghadapiku!”
Pram menarik napas panjang-panjang sebelum bergumam pelan, “Mengapa akhir-akhir ini sangat banyak pencuri kitab yang sudah bosan hidup?”
***
Pram menggeleng pelan ketika memandangi musuhnya yang bersimpuh dengan napas putus-putus di hadapannya. Dengan lembut dan penuh pengertian, pria muda itu berkata, "Aku tak mengapa jika kau mau menyerah. Tetapi jika tidak, aku juga tidak akan keberatan untuk mengirimmu kembali ke neraka."
Wanita yang nyata-nyatanya masih berusia muda dan amat cantik jelita itu mendecih. Dirinya datang serta secara terbuka menantang Pram untuk bertarung, tetapi kini menjadi teramat sangat malu sebab dirinyalah yang justru dikalahkan oleh Pram.
Bukit Kalajengking konon katanya menyimpan sebuah kitab persilatan yang dapat membuat siapa pun menjadi sakti mandraguna tanpa bisa terkalahkan, Kitab Kiai Gadung namanya, yang pula menjadi alasan kedatangan gadis itu ke tempat ini.
Namun sayang sekali, kitab yang memang bukan kitab sembarangan itu selalu dijaga oleh murid dari pemilik kitab. Dialah Pram, yang sekarang ini telah benar-benar mampu membuat dara itu mengalami banyak luka dalam.
Gadis cantik itu benar-benar malang. Kulit bersihnya masih basah oleh berkeringat yang bercucuran. Mengilap dipantul mentari senja. Rambut hitamnya yang semula tergelung rapi ke atas telah menjadi sedikit kusut akibat ulah Pram. Namun, sorot matanya masih jua tampak tajam. Tidak mau kehilangan Kitab Kiai Gadung. Padahal telah jelas betul bahwa Pram bukanlah tandingannya.
"Begundal sialan! Saya tidak akan membiarkanmu hidup lebih lama lagi!" Dara itu berteriak kencang sebelum berlari cepat ke atas bukit.
Pram hanya bisa menggelengkan kepala. Menghindari serangan tapak dari gadis kalap itu, yang sebenar-benarnyalah dapat mematikan jika tepat sasaran dan tidak tergesa-gesa.
"Seharusnya bagi pendekar aliran hitam seperti dirimu, tidak ada yang menarik dari kitab itu." Pram berkata sambil terus menghindari serangan tersebut. "Aku beri kesempatan kedua. Pergilah kau dari bukit ini. Lupakan kitab guruku.”
Merasa disepelekan, dara itu justru meningkatkan daya serangannya. Pram mudah saja menghindar sambil beberapa kali menggelengkan kepalanya. Kasihan juga gadis itu. Tak tahu kalau dirinya sedang berhadapan dengan harimau tidur yang memang sedang menahan kekuatannya.
"Aku ... takkan ... MENYERAH!"
Perempuan itu memberi serangan tapak terkuatnya. Angin menderu kencang. Pram tak dapat lagi mengelak, terkena serangan tapak itu dengan benar-benar telak.
Namun sayang sekali, serangan itu tidak berarti terlalu banyak baginya. Pram hanya mundur selangkah dan batuk sekali. Sedang telapak tangan sang dara seperti baru saja menimpuk besi tebal. Memerah padam. Prana[ Tenaga metafisik, di novel ini diartikan tenaga dalam
] miliknya terkuras habis. Luka dalamnya semakin memburuk. Maka sekejap kemudian, dia bersimpuh lutut di hadapan Pram. Napasnya tersengal-sengal.
"Sangat disayangkan, agaknya kau sudah tidak punya tenaga untuk meninggalkan bukit ini, padahal aku sudah memberimu kesempatan kedua untuk menyerah." Pram tertawa hambar. "Sebaiknya aku cepat-cepat mengakhiri semua ini agar dirimu tidak lagi merasa kesakitan atau kelelahan."
Pram bergerak mengambil keris di belakang pinggangnya. Menarik warangka ke atas. Mengeluarkan bilahnya, yang meliuk-liuk menakjubkan dengan warna putih berkilauan dipantul matahari senja. Meskipun begitu, belum ada nyawa yang binasa di bilah Keris Merpati Biru itu. Hampir semua lawan Pram mati dengan ilmu tangan kosong, dan sebagiannya hanya
dilumpuhkan saja.
Namun untuk perempuan ini, Pram hendak memberikannya sebuah kematian dengan sehormat-hormatnya, sebab ia sungguh melihat tekad dan ambisi yang luar biasa dari gadis itu.
"Mengapa ... mengapa ... mengapa kau tidak berikan saja kitab itu padaku?!" Gadis itu mendesah pelan sebelum memuntahkan darah segar.
Pram bersedia menjawab, sebab mungkin saja itu adalah kata-kata terakhir darinya. "Aku diberi tugas untuk menjaga kitab ini oleh guruku. Sederhana, bukan?"
"Tetapi diriku hanya ingin kembali ke jalan yang benar dengan kitab itu!"
Alis Pram bertaut. Dalam benaknya ia berpikir, apakah kiranya maksud dara ini? Bukankah sudah jelas dari pakaian yang dikenakannya, bahwa dirinya adalah pendekar dari golongan hitam? Sekarang apalah katanya. Kembali ke jalan yang benar?
"Kitab Kiai Gadung ... adalah jalanku ... untuk keluar dari jeratan kesesatan ini ...," katanya dengan terbata-bata. Jelas hampir kehilangan napas dan nyawa.
Pram sedikit terkejut dibuatnya. Memang benar, tiga dari empat bagian Kitab Kiai Gadung berisi tentang ajaran kebaikan dan hubungan manusia dengan Sang Hyang, barulah satu perempat sisanya berisi tentang ilmu persilatan. Tetapi bagaimanakah dara itu bisa mengetahuinya sedang seharusnyalah kebenaran itu hanya diketahui oleh Pram dan gurunya saja?
"Dari mana kautahu tentang kitab itu?" Pram bertanya.
Gadis itu tak menjawab. Nyawanya sudah sampai di ambang maut. Pram lekas-lekas mengeluarkan sebuah tengkel obat sebelum memasukkannya ke dalam mulut dara itu.
Dalam waktu yang teramat singkat, napas sang dara kembali teratur. Nyawanya terlepas dari kematian, setidaknya untuk saat ini, sebab Pram masih tidak segan-segan untuk membunuhnya nanti bila tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Dara yang tidak diketahui namanya itu memandangi Pram dengan sejuta makna. Heran sekali mengapa pemuda itu malah menolongnya.
"Dari mana kautahu tentang kitab itu?" Pram mengulang pertanyaan.
"Untuk masalah itu, kau tak perlu tahu sama sekali. Urusanmu adalah milikmu, urusanku adalah milikku. Lebih baik cepat serahkan kitab itu padaku!"
Sayang sekali yang Pram julurkan bukanlah Kitab Kiai Gadung, melainkan Keris Merpati Biru yang menempel langsung di leher sang dara. Seketikalah dara itu langsung membisu.
"Dari mana kautahu tentang kitab guruku ini?" Pram mengulang lagi, dengan nada yang jauh lebih tajam ketimbang sebelumnya. [W.R]
Belum ada Komentar untuk "Kitab Kiai Gadung 1"
Posting Komentar